Tampilkan postingan dengan label UMUM. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label UMUM. Tampilkan semua postingan

Senin, 14 Desember 2009

MENCAPAI KESEMPURNAAN

Menilik tentang perjalanan dari Miao Ch` ing, Miao Yin dan Mio Shan pada jaman dinasty Ming sangatlah fenomenal karena dari cerita tersebut pada akhirnya akan bermuara pada persamaan yang ada dan terjadi pada saat sekarang. Aneh tapi nyata Penulis menemukan dari sisi perjalanan, kiprah, tujuan serta letak dari tempat yang dibangun sangat sangat mirip beliau adalah SRI BRAHMARAJA XI yang dikenal dengan sebutan HYANG SURYO. Beliau adalah yang menjalankan kebijaksanaan dan pengertian KASUNYATAAN dalam kehidupan sehari-hari untuk mewujudkan KESEMPURNAAN.

Pada jaman sekarang dimana kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi banyak yang melupakan tentang kehidupan BHATINNYA nya.   Mio Chuang adalah Raja sekaligus ayahanda dari Miao Ch` ing, Miao Yin dan Mio Shan, dimana kedua saudara dari Miao Shan telah dicarikan jodoh dan dikawinkan oleh ayahnya. Tetapi Miao Shan menolak untuk menikah dia lebih memilih untuk tidak menikah dan menjauhi kedunawian dan mempunyai cita-cita luhur, untuk mencapai kesempurnaan untuk menolong orang-orang terbebas dari belenggu kesusahan, kebingungan, ketakutan, putus asa dll. Ada persamaan yang penulis temukan dalam cerita ini yaitu Hyang Suryo tidak MENIKAH "saya tidak sempat memikirkan untuk menikah" karena yang beliau mengemban tugas yang sangat berat adalah Nusantara khususnya dan Dunia pada umumnya dan salah satu kiprahnya adalah meluruskan daripada sejarah yang telah MELENCENG dari jalurnya dan kenyataan yang membuat orang bingung kehilangan arah dan terbelenggu dalam kemiskinan karena kata kuncinya adalah ELING KEPADA LELUHUR yang diartikan sekup kecil adalah Cinta Tanah Air dan menghormati orang tua maka kita akan diberi kebahagiaan.

Ada pertanyaan kenapa bangsa kita seperti ini keadaanya miskin, katanya dulu waktu jaman kerajaan Majapahit kita terbesar kita pertama kali bisa membuat kapal laut yang begitu besar bisa mengangkut ribuan laksa manusia bahkan negara Belanda dan Inggris belajar ke Majapahit untuk membuat Kapal, maka disebut NENEK MOYANGKU SEORANG PELAUT? beliau" Hyang Suryo menjelaskan semenjak keruntuhan Majapahit yang disusupi oleh orang dalam sendiri yaitu Raden Patah yang otaknya telah dimasuki kepercayaan Islam oleh Wali Songo, maka hilanglah rasa hormat kepada orangtuanya Brawijaya bahkan  diserang dan semua penyembah Leluhur dianggap Brahala dan di tumpas. Ini yang menjadi penyebab dari putusnya matarantai kehidupan untuk mencapai kebahagiaan karena di dunia ini seorang anak sebelum bisa mencari nafkah pasti dibiayai kehidupannya dan diperhatikan hidupnya oleh orang tuanya terutama IBU. Bahkan sebelum meminta sekalipun seorang anak berprilaku baik dan hormat kepada orang tuannya sudah lebih dahulu diberi hadiah.

Kembali ke cerita perjalanan Miao Shan untuk mencapai kesempurnaan, Miao Shan lantas membantah perintah dari ayahandanya dan bersikukuh untuk melajar untuk mencapai kesempurnaan. Sang Raja begitu marahnya tidak seorangpun bisa menghelak perintahnya, karena keteguhan hati Miao Shan untuk belajar kesempurnaan sangatlah keras maka sang ayah tidak bisa menghalangi. Berangkatlah Miao Shan menuju Klenteng Pipit Putih setelah berpamitan kepada Ayahanda dan Ibundanya, tetapi sang Raja tidak berhenti sampai disitu untuk mencegah Miao Shan untuk mempelajari hal yang konyol tersebut menurut sang Raja., diutuslah mentri untuk menemui pimpinan Wihara yang didirikan oleh Huang Ti (kaesar Oey Tee) dan limaratus Niko-Niko yang berdiam didalamnya dibawah pimpinan Nyonya Cheng Cheng Chang tersebut untuk membujuk Miao Shan biar kembali ke kerajaan. Setelah berusaha untuk melaksanakan hal tersebut ternyata sia-sia bahkan Miao Shan meminta pimpinan tersebut untuk minta ijin kepada orangtuanya.Akhirnya Miao Shan setelah diterima ditempatkanlah ditempat yang paling sulit yaitu sebagai juru masakmenyiapkan makanan setiap hari untuk limaratus biksuni.

Melihat prilaku Miao Shan yang tidak pernah mengeluh dan tulus iklas maka dewa langit  Yu Huang (Giok Hong Siang Tee)  mengutus dewa Bumi Tu`ti (Touw Tee Kong) untuk memebantu meringankan beban  Miao Shan dalam melaksanakan tugasnya. Raja merasa gerah melihat keadaan yang di laporkan oleh ketua wihara dimana terjadi banyak kejadian yang aneh genta-genta berbunyi dengan sendirinya, makanan siap disajikan dengan begitu cepatnya dan banyak lagi hal-hal yang gaib terjadi semenjak Miao Shan tinggal di wihara Pipit Putih tersebut. Kemudian Sang Raja memerintahkan prajuritnya untuk mengepung  serta membakar semua seisi wihara termasuk semua penghuninya. Wihara tersebut akhirnya dibakar semua Biksuni mengalami kepanikan yang sangat luar biasa sembari berkata "karena engkaulah Miao Shan penyebab semua ini terjadi" kemudian Miao Shan mengambil tusuk konde yang dipakainya dan ditancapkan kelangit-langit  diatas lidahnya dan disemburkan darah yang keluar keatas mengarah kelangit.Seketika itu hujan turun mengguyur lingkungan wihara Pipit Putih tersebut memadamkan api yang berkobar membakar hampir semua bangunan wihara tersebut. Prajurit melaporkan kejadian tersebut kepada sang Raja


Bersambung.....

Sabtu, 12 Desember 2009

MENGUAK GAJAHMADA [3


POS KOTA RABU, 4 NOVEMBER 2009 JAKARTA : Petilasan Gajah Mada di Lambang Kuning, Kertosono, Ternyata juga menmbangkitkan semangat Orang-Orang Bali untuk mengunjunginya. Ini bisa dimaklumi, sebab sebagian masyarakat Bali memang mempunyai Darah Keturunan dari Majapahit. Bukan itu saja, Tokoh Gajah Mada, menurut Cerita mereka, dianggap sebagai Putra Bali, Oleh karena itu Gajah Mada sangat di Agungkan, Hal ini diantaranya bisa dibaca dalam KEKAWIN GAJAH MADA karya I Ngurah Cokorda yang ditulis pada 1952-1958, Satu Kekawin termasuk baru, ditulis di Ubud Bali, disana disebutkan bahwa Gajah Mada adalah Tokoh yang karena Digdaya Anindyeng Sarat {Tokoh Termasyur Jaya tak Tercela di Seluruh Dunia} Tentang Gajah Mada juga bisa dibaca dalam kitab kitab lebih tua di Bali, misalnya karya karya Sastra jenis Babad, Adapun para tokoh agama dari Bali yang sudah mengunjungi dan meneliti situs Lambang Kuning itu adalah HYANG SURYA WILATIKTA [Ketua Puri Surya Majapahit], Drs I Gusti Putu Teken [Musium Buleleng], I Ketut Suharsana, I Gusti N Ari Darmawan, I Gusti Putu Arsila, Keempatnya merupakan keturunan Raja Bali. Hyang Surya Wilatikta yang oleh warga sekitar dipanggil Eyang Suryo, merupakan salah satu tokoh yang sangat antusias terhadap penemuan dan selanjutnya pemugaran Situs Gajah Mada di Lambang Kuning itu, Dia sering berkunjung untuk berziarah, Menurut warga sekitar Punden Lambang Kuning, Eyang Suryo kalau datang berziarah duduk bersila diluar pagar Punden. Dia tidak masuk, karena sangat mengagungkan tokoh Gajah Mada, hingga kalau berziarah cukup diluar pagar, tetapi tetap segala ritualnya yang khusuk. Dia lalu menceritakan tentang hubungan situs Lambang Kuning, Gajah Mada, dan Istri Selirnya yang dimakamkan di situs itu, yakni Putri China Roro Kuning. DISEBUT RAJA BALI "Akan halnya ditempat ini, disebut sebut sebagai Petilasan Gajah Mada , Karena Gajah Mada pernah tinggal disitu. Istrinya bernama Ratu Niang atau kemudian disebut Putri China, lalu juga disebut Randa Kuning, maka disini disebut Lambang Kuning" Ungkapnya. Setelah Gajah Mada pergi ke Bali, lalu kawin dengan Ni Luh Sukarini Putri Raja Bali Age. Begitu besarnya pengaruh Gajah Mada , maka setelah menikah dengan anak Raja Bali, Maka Sang Maha Patih sampai sampai disebut sebagai Raja Bali atau Baliage. Sementara itu, lanjut Eyang Suryo, Ratu Niang atau Roro Kuning setelah ditinggal beberapa lama, kemudian menyusul ke Bali, disana dia menemui kenyataan bahwa Gajah Mada sudah menikah lagi, yakni dengan Ni Luh Sukarini itu. Mengetahui hal tersebut, Ratu Niang mengadu kepada kakak Gajah Mada yang bernama Mayong. Maka Ma Yong menanyakan kepada Gajah Mada "Apakah ini istrimu ?" Gajah Mada tidak mengelak, Dia menjawab benar itu istrinya. Mayong marah seketika itu juga Gajah Mada ditempeleng, Raja Bali kalah oleh kakaknya sendiri. Menurut Eyang suryo Mayong memang seorang Tokoh yang sangat dihormati. "Makanya orang Bali sekarang, kepada keturunan Mayong itu tidak ada seorang Pendeta pun berani menetesi Tirta kepalanya", Setelah kejadian itu Gajah Mada mengantarkan Roro Kuning ke Jawa, dan pada akhirnya tetap memilih menyepi di Lambang Kuning. Meskipun ditinggal Suaminya untuk tugas Negara, Roro Kuning rupanya tetap setia tinggal ditempat itu, Sampai Hayatnya pun kemudian dimakamkan di Lambang Kuning yang selalu dikawal Prajurit Prajurit pilihan Gajah Mada. Akan halnya sekarang ujar Eyang Suryo, Banyak sekali Petilasan di Jawa rusak , Bukan hanya di Jawa , di Bali pun banyak petilasan yang lain pun hancur. Banyak jejak sejarah menjadi hilang. Seperti Petilasan Lambang Kuning ini, sebelumnya sudah hancur, tinggal onggokan sekumpulan batu bata, sedangkan disini banyak sekali sejarah yang hilang, hancur, seperti petilasan ini tinggal seonggokan batu bata. YAYASAN KERTAGAMA "Untung ada Yayasan Kertagama yang dipimpin Pak Harmoko peduli dan berkenan membangun dan merawatnya, semoga restu para Leluhur Majapahit juga merestui penduduk disini, semoga kepada Pak Harmoko yang sudah nguri nguri Leluhur nya dapat juga sesuatu anugrah dari para Leluhur" ujar Eyang Suryo. Menurut keyakinan masyarakat Bali dan semua agama, salah satu hal dalam hukum lima, kita wajib menghormati orang tua kita supaya mendapat surga dan umur panjang." Tentang Tokoh Gajah Mada, Eyang Suryo berpendapat Gajah Mada merupakan tokoh Agung dengan nama besar. Dialah orang pertama sebagai Pemersatu Nusantara. "Beliau di Dunia dikenal sebagai pencipta model Negara Nasional pertama , Dia berkedudukan sebagai Patih atau Perdana Mentri," ungkapnya. Dari Zaman Majapahit dibawah Raja Hayam wuruk dan pemerintahannya dijalankan Maha Patih Gajah Mada, telah tumbuh subur kehidupan beragama dan kebudayaan, serta pemikiran pemikiran mendalam. Yang terkenal adalah Karya sastra Kekawin Nagarakertagama karya Mpu Prapanca dan kekawin Sutasoma karya Mpu Tantular. Dari Sutasoma, selanjutnya telah diambil salah satu ajaran terpenting, yakni tentang Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa [berbeda-beda tetapi tetap satu jua, tiada Darma yang mendua] Eyang Suryo pun mengutipkan bunyi kekawin pada bagian itu, terjemahannya secara bebas antara lain : Adalah nama besar di jagad raya, yaitu Empu Tantular, Beliau berhasil menciptakan suatu sistem Bhinneka tunggal ika tanhana darma mangruwa [berbeda beda tapi tetap satu jua, tiada darma yang mendua]. Sebanyak banyak nya emas permata, sedalam dalamnya lautan , setinggi tingginya gunung dan langit Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa lebih hebat , Barang siapa yang memakainya akan mengerti Rahasia Jagad , bilamana Raja dan Kawula dan Rakyatnya memakai Bhinneka Tunggal Ika Tanhana Darma Mangruwa Negara atau kesatuan bangsa ini akan mengalami Gemah Ripah Loh jinawi, Adil Makmur Aman Sentosa. Oleh karena itu, Eyang Surya mewanti wanti kepada generasi muda untuk tidak melupakan jasa jasa Gajah Mada, Lebih dari itu, Kiranya perlu mempelajari bagaimana Ajaran dan Budi budi baik Maha Patih Majapahit itu [bersambung/Winoto/dsr/r]

GAJAH MADA ASLI DI PANCADATU


JAWA POS RADAR BALI SENIN 19 Juli 2004 : KUTA - Wajah asli patih Gajah Mada dibeber di GWK Culture Park, Minggu kemarin Adalah Hyang Suryo Wilatikto yang membeber keaslian wajah Mahapatih tersohor tersebut. Pembeberan dimuali dari Patung setinggi 25 centimeter yang tangan kanan dan kirinya memgang senjata Gada. Sebuah kalung kombinasi putih kuning menghiasi lehernya, plus leontin bergambar Betara Siwa warna keemasan "Inilah wajah Wajah Mahapatih Gajah Mada yang asli," jelas Hyang Suryo Wilatikto kemarin. Guna meyakinkan argumentasinya, Ketua Pura majapahit [Puri Jenggala] itu juga memberikan bebrapa fakta versinya ternyata menurutnya, Kalung bergambar Siwa itu diyakini nya peninggalan asli Gajah Mada. 'Keturunan Gajah Mada yang di Bali juga pernah menemui saya," katanya. Uniknya dirinya mengakutidak mau kompalin kepada pelukis wajah Gajah Mada. Kenapa yakin ? dari sinilah dia mengungkap kisah tersebut. Menututnya Pratima Gajah Mada Pancadatu [berbahan tujuh logam] itu diyakini sebagai miniatur wajah Sang Patih sesungguhnya setelah melalui rapat, meditasi , Juga mohon izin di Candi Rondo Kuning, Kertososno, Kemudian ada tuliusan China berbunyi" MA DA "Saat itu disaksikan tokoh Purbakala Trowulan Joko umbaran, Lurah Ropndo Kuning dan Sesepuh Majapahit, jelas si Pewaris Patung ini. Keyakinan ini juga didasarkan adanya Mahkota Patih yang dikenakan Patung. sedang Mahkota yang beredar kini adalah mahkota prajurit bukan Patih, Namun yang unik , selama dia di Bali menemukan ada Mahkota Patih Bali yang mirip milik Gajah Mada, "Saya membeli Mahkota itu di Sukawati," katanya sambil menunjukkan benda yang dimaksud. Bagaimana dia mendapat Patung itu ? Menurutnya Patung atau Pratima itu didapat secara turun temurun. Bermula dari runtuhnya Kerajaan Majapahit di Trowulan [1478] Sementara Majapahit Trilokapura [Daha-Jenggala-Kadhiri] masih eksis hingga 1527 hancur saat diserang Trenggono [Putra Raden Patah, Raja Demak] Kejadian itu juga berakibat sama terhadap Madapura , sebelumnya Patung itu diselamatkan ke Trilokapura oleh Arya Gede, Dia adalah Putra Sri Wilatikta Brahmaraja [Ratu Trilokapura]. [djo]. PAMERAN BUDAYA PEMERSATU BANGSA [1] WARTA BALI Minggu Wage, 2 Februari 2003 : Kondisi bangsa yang carut marut dilanda krisis multi dimensional belakangan ini antara lain disebabkan oleh hilangnya kesadaran bangsa ini untuk menghargai para Leluhur, pendahulu bangsa termasuk budaya Adiluhung dijaman kejayaan Kerajaan Majapahit memiliki modal budaya, filosofi dan spirit "Sumpah Palap" yang merupakan cikal bakal lahirnya Sesanti Bhinneka Tunggal Ika [Unity in Diversity] yaitu bersatu dalam keanekaragaman. Demikian antara lain pernyataan DR [HC] Soemadi Kertonegoro {Kanjeng Madi} ketika ditemui WARTA BALI seusai pembukaan Pameran Budaya Permersatu Bangsa di Lake View Batur Kintamani Bangli, Sabtu [1/2]. Salah satu upaya untuk menggali kembali nilai nilai mutiara budaya kejayaan bangsa, Terutama Era kerajaan Majapahit adalah dengan menggelar Pameran Budaya Pemersatu Bangsa, Pameran yang dimulai Sabtu, 1 sampai dengan 28 Pebruari 2003 di Lake View Hotel and Restoran ini dibuka HYANG SURYO WILOTIKTO yang juga Pandito Ratu pada Pura Majapahit dan Ketua IX Keluarga Besar Pendukung Budaya Nusantara Asli / Religi da Adat Nusantara Asli untuk mengurusi kerabat Mojopahit. Senada dengan itu, menurut Hyang Suryo Wilotikto, sudah saatnya bangsa Indonesia, kembali merenungi ke Agungan Budaya Leluhur dengan kembali mengingat dan menghayati serta menyadari nilai-nilai budaya yang pernah membawa kejayaan bangsa pada zaman Kerajaan Majapahit tanpa melihat Agama suku dan Ras. "Sesungguhnya kita ini satu Leluhur, kenapa kita selalu berbeda ketika melihat agama kita beda, justru dengan melihat bahwa budaya kita sama, maka kita akan kembali menyadari arti sebuah persatuan " ungkap Hyang Suryo, Di tengah tengah kerinduannya kepada kedamaian dan kejayaan masa lalu, Hyang Suryo menyitir Sesanti "Ajining Bongso Soko Luhuring Budoyo" yang artinya dihargainya Bangsa karena Keluhuran Budayanya. Sesanti itu ia hubungkan dengan Taurat Hukum kelima yang berbunyi "Hormatilah Orang Tuamu". Menurut Hyang suryo, sebuah bangsa yang selalu kuat memegang prinsip untuk menghormati Leluhurnya adalah bangsa yang besar. Untuk itu, Ia mengambil contoh JEPANG , Jepang dimata Hyang Suryo adalah Negara yang kuat dengan tradisi dan Budayanya kendati pernah hancur berkeping keping akibat di Bom Atom oleh Sekutu. Ia lalu mempertanyakan, kenapa bangsa Indonesia yang pernah mengalami masa kejayaan bahkan sampai tersohor ke seluruh dunia karena kekuasaan Majapahit meluas hingga bebrapa pulau di Philipina justru mengalami keterpurukan yang menyedihkan pada saat ini. Pengempon Pura Majapahit Pusat di Trowulan, Mojokerto Jawa Timur yang hingga kini hidup melajang ini melihat salah satu penyebabnya adalah karena bangsa Indonesia 'Melupakan' budaya Leluhurnya, "Bangsa Indonesia tidak lagi ingat apalagi menyembah Leluhurnya" terang Hyang Suryo. Untuk itu ia mengingatkan semua elemen bangsa untuk kembali sadar bahwa memuja Leluhur merupakan suatu keharusan jika bangsa ini tidak ingin lebih terpuruk kejurang yang lebih dalam lagi. Kanjeng Madi mengingatkan para elit bangsa untuk perlunya menggelar gerakan rekonsiliasi untuk mengembalikan kepercayaan rakyat yang 'Hilang'. Salah satu filosofi yang perlu dipegang menurut Kanjeng Madi ada;ah memegang teguh prinsip kepemimpinan Mahapatih Gajah Mada yakni Olah Raga, Olah Pikir dan Olah Rasa. "Nilai Luhur dari filosofi Maha Patih Gajah Mada perlu dipegang kembali" terang Kanjeng Madi. Ia jelaskan, olah raga tiada lain untuk mengembangkan emosional manusia, Olah pikir mengembangkan intelektual dan Olah rasa untuk mengembangkan kesadaran. Hanya saja ketiganya harus mengacu kepada nilai kecerdasan. Termasuk didalamnya sifat mensyukuri nikmat Tuhan yang telah dikaruniakan kita. @ tha. inilah Kliping berita dari Hyang Suryo Raja Abhiseka Majapahit Masa kini Sri Wilatikta Brahmaraja XI yang diundang ke Bali karena Pura / Puro / Griyo / Dalem Beliau di Trowulan di tutup dilarang Ritual dan Kegiatan dalam bentuk apapun oelh MUSPIKA Trowulan sejak 11 November 2001 [Komang Edi]